Kenapa Tuhannya Sama, Kitabnya Sama, Nabinya Sama, Hasilnya Berbeda?

Banyak dari kita yang selalu bertanya-tanya tentang, "Kenapa Tuhannya sama, Kitabnya sama, Nabinya sama, tetapi berbeda produknya? Berbeda Hasilnya? Berbeda ilmunya? Berbeda orangnya?! Kenapa ada yang radikal, ada yang liberal, ada yang sekular, ada yang moderat, dan ada yang toleran?" Dan ada perbedaan lain sebagainya.
Kenapa Tuhannya Sama, Kitabnya Sama, Nabinya Sama, Hasilnya Berbeda?
Foto via: obat-online.com
Mari kita bahas.

Ilmu Tuhan akan cepat masuk ke dalam hati (qolbu) manakala dalam proses belajar, kita membuka hati dan fikiran. Ibarat sebuah gelas. Jika gelas itu ditutup/dibalik, maka sebanyak apapun air yang dituangkan, tak akan pernah masuk; tumpah. Begitulah kaidah dalam menuntut ilmu.

Misalnya, ketika ada anak sedang belajar di sekolahan atau pesantren. Kita akan melihat ada anak yang cepat menangkap, ada yang loading lama, ada yang sulit menangkap ilmu. Kembali pada awal, "menutup gelas."

Banyak diantara kita yang tak peduli dengan ilmu baru, pendapat baru, pengalaman baru, khilafiyah baru, bahkan guru baru. Mengira jika ilmu yang sudah didapat adalah benar-sebenar-benarnya ilmu. Dan akhirnya, kita masih saja berkutat pada tempat yang sama; menyelami kebodohan sendiri. Ketika mendapati ilmu baru, sontak saja menolak dan memberi label pada ilmu baru itu, "Salah! Ilmu saya yang benar." Begitu kira-kira.

Terkadang juga, dalam proses belajar, kita terjebak pada "apa dan siapa." Apa ilmu baru itu benar? Siapa yang menyampaikannya? Apakah dia seorang ustadz/kyai? Nabi Muhammad menjawab dalam hadistnya, "Lihatlah apa yang disampaikan, jangan lihat siapa yang menyampaikan."

Lalu, bagaimana jika saat kita menimba ilmu, ada ilmu yang sesat yang diajarkan. Sedangkan kita sudah membuka hati dan fikiran (ibarat gelas terbuka)? 

"Al 'Ilmu Nuurun" Ilmu adalah cahaya/penerang. 
Sebenarnya, di dalam agama manapun, yang diakui pemerintah, tak ada ajaran agama yang mengajarkan kesesatan. Jika pun ada seseorang yang meng-atasnamakan agama kemudian mengajarkan ilmu sesat, maka orangnya lah yang harus disalahkan. Karena dia telah gagal sebagai penuntut ilmu Tuhan. Kalau dalam guyonan santri, "mungkin ketika ngaji, baru setengah mendengarkan ngaji, dia tidur." Ilmunya tidak komplit.


Intinya, selain perbedaan itu adalah rahmat, perbedaan adalah sunnatullah, perbedaan adalah kasih sayang Tuhan. Perbedaan itu adalah kebisaan menerima, membuka dan menjernihkan mata, hati, fikiran untuk selalu belajar keluasan ilmu Tuhan.

Wallahu A'lam Bissowab.