Konsep hidup di negara yang heterogen ini memang seharusnya lebih mengedepankan rasa toleransi pada sesama, baik dalam segi agama maupun sosial. Setiap agama manapun, mempunyai aturan tentang tenggang rasa dan rasa toleransi untuk menghormati keyakinan agama lain.
Bukan alasan kita untuk menyalahkan kebenaran agama lain, walaupun memang salah. Begitu juga sebaliknya, bukan tanggung jawab kita membenarkan agama sendiri, walaupun memang benar kebenarannya. Karena kebenaran tentang itu semua adalah hak mutlak Tuhan.
Foto via: portalkonseling.com |
Manusia cukup mengamalkan ajaran agamanya masing-masing tanpa menyentuh/menyalahkan ideologi agama lain. Bersosial tanpa memandang budaya, ras, suku dan agama. Ini kuncinya.
Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an: "Wa lana a'maluna, wa lakum a'malukum. Lakum dinukum wa liyadin. Wa innaka la tahdi man ahbabta wa lakinnallahu yahdi man yasa'."(Q.S Al-Baqoroh:139, Al-qasas:56, Al Kafiiruun:6)
I'maluu 'Alaa Makaanatikum Inni 'Aamil, artinya: "Hendaklah kamu mengamalkan menurut tempat keyakinanmu. Sesungguhnya kamipun mengamalkan menurut tempat keyakinan kami." (Q.S An-An’am/135),
Dalam hadist Nabi Muhammad Saw bersabda: “antum a’lamu minni bi umur dunyakum” artinya, kalian lebih mengetahui tentang perkara-perkara dunia kalian.
Lalu, sampai batasan mana kita diperbolehkan bertoleransi pada agama lain? Sepanjang teologi keagamaan tidak tersentuh. Kalau sekedar "Mu'amalah Duniawiyyah" saja, kita diperbolehkan. Misalnya, ikut membantu saudara non-muslim ketika dilanda musibah, ikut mengamankan natal, dan sebagainya.
Seharusnya kita bisa mengambil hikmah dari kisah Nabi Muhammad dengan Pengemis Yahudi Buta di Kota Madinah. Yang karena kemurahan hati beliau, pengemis buta yang setiap harinya mencerca beliau akhirnya masuk islam. Baca: Cerita Nabi Muhammad dan Pengemis Buta Yahudi.
"Pada prinsipnya, semua tindakan non-ritual diperbolehkan, terkecuali ada nash-nash atau hadist yang melarangnya dengan jelas."
Wallahu A'lam Bissowab.