Semakin hari, kita semakin bingung dengan tingkah laku para wakil rakyat di atas sana. Semakin hari, ketidakberesan sosial, moral, agama, bahkan politik di negeri ini, semakin menampakkan ketidakberesan. Kita hanya bisa menontonnya dari kejauhan, terenyuh sembari menghela nafas, mengelus dada, miris.
Sebenarnya, apa yang menjadi sebab dari kesemua fenomena ketidakberesan itu terjadi?
Foto via: nasional.kompas.com |
Kalau boleh menilai, ada satu sebab paling mendasar tentang semua itu. Yakni, niat dalam menimba ilmu. Kesalahan berniat menuntut ilmu itulah yang menjadikan seseorang buta akan hikmah ilmu itu sendiri.
Kebanyakan dari kita, masih belum paham akan tabiat dari ilmu itu sendiri. Sebab ilmu itu ibarat pisau bermata dua, dibutuhkan cara menggunakannya, jika kita tak bisa, maka ilmu itu akan menikam atau membunuh kita.
Dalam ilmu Ushul Fiqh diterangkan, bahwa kebodohan itu ada dua jenis. Pertama, Jahl Basith (Bodoh Sementara), dimisalkan, kebodohan yang baru dialami anak-anak kecil, murid yang sedang belajar, atau orang-orang pedesaan. Karena mereka belum tahu apa-apa, sebelum mereka belajar untuk tahu.
Kedua, Jahl Murokkab (Bodoh Kuadrat), yakni bodohnya orang-orang pintar, orang berilmu, yang tak mampu menerapkan ilmunya sesuai dengan apa yang dia ketahui. Misalkan, dia tahu kalau korupsi itu haram hukumnya, tetapi dia masih menjalankannya, dialah Jahl Murokkab itu.
Untuk kebodohan yang sifatnya sementara (Jahl Basith) di atas, akan sangat dimaklumi, karena ketidaktahuannya. Akan tetapi jika bagi mereka yang sudah tingkat berilmunya tinggi, seperti, ustadz, kyai, guru, dosen, doktor, bahkan profesor sekalipun, sangat disayangkan.
Apakah mereka yang tingkat ilmunya tinggi, bisa salah? Tentu, justru kesalahannya akan sangat disayangkan; fatal. Karena bukan hanya bodoh untuk dirinya sendiri, melainkan semua orang akan terhasut dengan kebodohannya (Jahl Murokkab) tersebut.
Kita harus mengakui jika selama kita belajar, menimba ilmu, mengeluarkan uang membeli buku, hanya untuk dunia bukan?! Untuk bisa bekerja, untuk kedudukan dan posisi di sebuah institusi. sekali lagi, apakah ini niat kita dalam menimba ilmu???
Mari kita teliti, apakah niat kita selama ini sudah benar? Jika salah. Pasti ilmu itu tak akan terikat kuat bahkan cenderung mudah hilang dari ingatan. Akibatnya, jika begitu, tampaklah kesombongan, kegumedean, serta kemunafikan dengan menghalalkan segala cara untuk kaya di dunia.
Silahkan mau jadi apa saja, tetapi ingat! Ketika menimba ilmu, niatkan Lillahi Ta'ala. Sebab kepintaran itu faktor akibat dari berhasilnya ilmu masuk ke dalam fikiran kita. Karena ilmu itu milik Allah, dan kita mengambilnya juga karena Allah semata.
Dan pada akhirnya, sebelum kita berkoar menghujat sana sini, membodohkan ini-itu, sebaiknya kita memindai ulang, men-scanning diri kita. Sudahkah kita lepas dari kebodohan itu? Sudahkan niat kita tepat hanya Lillahi Ta'ala saja saat belajar?
Selamat Belajar.